A. MAKNA SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH
Secara bahasa kalimat ﷲ ﺍﻻ ﺍﻟﻪ ﻻ bisa diuraikan secara ringkas sebagai berikut: Laa (ل) adalah nafiyah lil jins (menafikan jenis secara nash) yaitu meniadakan kata benda yang datang setelahnya, misalnya: laa rajula fil bait (tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata benda untuk jenis lelaki, dalam contoh di atas kata rajula terletak setelah laa nafiyah lil jins, maka maknanya adalah “tidak ada seorang pun dari jenis lelaki berada dalam rumah” Ilah (إﻟﻪ) adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) yakni bermakna ma’luh artinya ma’bud (yang diibadahi),
sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas terhadap surah Al A’raf: 127:
“Berkatalah pembesar-pembesar Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab:”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka”. (Al A’raf: 127)
Kata “Alaihataka” (ilah-ilahmu) pada ayat di atas yaitu ibadah kepadamu (karena Fir’aun itu disembah dan tidak mau menyembah). Lihat:Tafsir Ibnu Jarir Illa artinya kecuali. Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadz jalaalah “Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa. Allah yang asalnya Al-llah dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama di idhgamkan pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang di-tasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal.
Kata Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin 1/18: “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah), ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan……”. Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itu tidak ada satupun dari makhlukNya yang bernama Allah.
Kemudian Laa ini masuk ke dalam mubtada’ dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah, mubtada’ menjadi isim laa dan khobar mubtada’ menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha Illallah yang ada hanya mubtada’nya saja yaitu Ilah yang asalnya Al-llah kemudian dibuang Al-nya karena seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar.
Maka para ulama salaf berpendapat bahwa yang dibuang adalah haqqun dengan dalil firman Allah Ta’ala:
Artinya : Yang demikian itu karena Allahlah yang haq dan apa saja yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan Allah Maha Tinggi dan Maha Besar” (QS. Luqman: 30).
Sedangkan lafadz jalalah (Allah) hanya badal dari ilah bukan khobar laa.
Maka dari penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa Ilaaha Illallah adalah tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (tidak ada sesembahan yang haq selain Allah)
Beberapa penafsiran batil dari Laa Ilaaha Illallah:
- “ Tidak ada sesembahan kecuali Allah”. Ini adalah batil, karena maknanya: sesungguhnya setiap yang disembah, -baik yang benar maupun yang batil- itu adalah Allah.
- “ Tidak ada pencipta selain Allah”. Secara sepintas maknanya benar. Sebab makna ilah adalah yang diibadahi. Sedangkan makna ini hanya mengakui tauhid Rububiyah Allah saja, dan itu belum cukup.
- ” Tidak ada yang ada kecuali Allah”. Batil karena; ilah diartikan yang ada dan makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah. Ini adalah kebatilan yang yang paling batil, lebih kafir dari Yahudi dan Nashara sebab Tuhan mereka hanya dua atau tiga, sementara orang-orang yang mengartikan ini mempunyai Tuhan lebih banyak dan tidak terbatas.
Dan lain-lain (lihat Kitab Tauhid karya Syeikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan jilid I Bab III dan Majalah An-Nashihah edisi I th.1/2001 M Rubrik Aqidah hal.19-26 (Makna Laa Ilaaha Illallah oleh Ust. Luqman Jamal )
B. MAKNA SYAHADAT “ANNA MUHAMMADARRASULULLAH”
Yaitu mengakui secara lahir dan batin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekwensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkan.